Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
memuat 12 pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana di bidang kesehatan
yaitu pasal 190 sampai dengan Pasal 201.
Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada
subjeknya setiap orang.
Tindak Pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu diatur dalam pasal 190
yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh Pimpinan fasilitas
Kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan
Tindak Pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang
diatur dalam Pasal 191 sampai dengan pasal 200. Yang dimaksud dengan “setiap orang adalah orang perseorangan dan
korporasi”
Tindak Pidana dalam Undang-Undang Kesehatan, ditinjau
dari rumusannya dapat dibagi dua yaitu :
1.
Tindak Pidana
Formil
Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan
yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu (Wirjono
Prodjodikoro, Bandung 2003)
2.
Tindak Pidana
Materil
Tindak pidana Materil dirumuskan sebagai perbuatan yang
menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.
POSISI KASUS
Tanggal 10 April 2010
Korban,
Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya.
Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia
didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua.
Namun
setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul
tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi
caesar darurat.
“Saat
itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan
feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar,” ujarnya.
Tapi
yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien
mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda
bahwa pasien kurang oksigen.
“Tapi
setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien
semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia,”
ungkap Nurdadi, seperti ditulis Senin (18/11/2013).
Tanggal 15 September 2011
Atas
kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry
Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena
laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado
menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni.
“Dari
hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli
udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh
dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung
pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni,” tutur dr Nurdadi.
Tapi
ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung yang kemudian dikabulkan.
18 September 2012
Dr.
Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy
Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).
11 Februari 2013
Keberatan
atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan
dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK).
Dalam
surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan
ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter
tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan
Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan
atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.
8 November 2013
Dr
Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), satu diantara terpidana kasus malapraktik
akhirnya diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan
penjara. Ia diciduk di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata
Hati, Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung)
dan Kejari Manado sekitar pukul 11.04 Wita.
ANALISIS
KASUS
Berdasarkan dokumen Surat Dakwaan
Kejaksaan Negeri Manado dan Putusan Mahkamah Agung RI No 365 K/Pid/2012 tanggal
22 September 2012, setidaknya ada tiga perbuatan pidana yang dilakukan dan
didakwakan kepada dr. Ayu cs, yakni:
1.
Kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain, vide Pasal 359 KUHP. Kealpaan/kelalaian dalam operasi
terhadap korban Siska Makatey tersebut meliputi: 1. tidak menyampaikan
penjelasan kepada pasien/keluarganya tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk
dari tindakan medik (operasi) yang dilakukan; dan 2. tidak melakukan
pemeriksaan penunjang terhadap tindakan medik (operasi) beresiko tinggi pada
korban Siska Makatey, yakni tidak melakukan pemeriksaan jantung, foto rontgen,
dan pemeriksaan darah;
2.
Melakukan operasi tanpa Surat
Izin Praktik (SIP), vide Pasal 76 UU PK. Dimana ketiga terdakwa hanya
memiliki Sertifikat Kompetensi. Di samping itu, ketiganya tidak mendapat
pelimpahan/persetujuan operasi dari dokter spesialis yang memiliki
SIP/kewenangan memberikan persetujuan;
3.
Memalsukan tanda tangan korban
Siska Makatey dalam Surat Persetujuan Tindakan Khusus, Persetujuan Pembedahan
dan Anestesi, vide Pasal 263 KUHP. Tanda tangan korban berbeda dengan di
KTP dan Kartu Askes. Hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium
Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistik tanggal 9 Juni 2010 No LAB: 509/DTF/2011. Dalam alat bukti ini
disebutkan adanya “Spurious Signature” atau Tandatangan Karangan.
Namun, berhubung surat dakwaan tersebut disusun secara campuran alternatif
subsidiaritas, maka jaksa dan hakim memiliki kebebasan untuk memilih dakwaan
yang dianggapnya paling terbukti. Dalam hal ini jaksa menilai terbukti Dakwaan
Kesatu Primair Pasal 359 KUHP. Kesimpulan jaksa penuntut umum demikian ditolak
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado. Baru disetujui ketika kasusnya
naik kasasi di Mahkamah Agung RI oleh majelis hakim yang diketui oleh Dr.
Artidjo Alkostar.
Karena itu, tidak dipidananya para terdakwa atas perbuatan melakukan
operasi tanpa SIP dan pemalsuan tandatangan, bukan berarti perbuatannya tidak
terbukti secara materil. Akan tetapi lebih karena faktor bentuk susunan dakwaan
yang dibuat alternatif. Idealnya, perbuatan para terdakwa dalam perkara ini
didakwa dengan bentuk dakwaan kumulatif, sehingga setiap perbuatan dibuktikan
satu-persatu secara kumulatif.
Bukti-bukti tidak adanya SIP ketiga terdakwa tak terbantahkan lagi.
Begitupun bukti pemalsuan tandatangan, cukup meyakinkan, karena didasarkan pada
akta otentik hasil labor yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk
itu. Dua jenis perbuatan ini jelas dan gamblang merupakan indikasi kuat
malpraktik dan perbuatan kriminal sekaligus.
Namun anehnya, Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran hanya fokus pada sebab kematian
pasien Siska Makatey, yakni: masuknya emboli udara ke bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan
selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung yang berujung kematian
Siska. Emboli udara mana disebutkan MKEK sifatnya unpredictable.
Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tidak memeriksa
keseluruhan perbuatan dr. Ayu Cs, seperti diuraian di atas, termasuk pembiaran
yang dilakukan dr. Ayu Cs dan pihak rumah sakit terhadap korban Siska Makatey,
yang telah masuk sejak pagi hari sampai malam baru dioperasi. Sedangkan saat
pertama masuk rumah sakit, rujukan dari puskemesmas, saja, kondisi Siska sudah
sangat lemah. Hal mana dibuktikan oleh rekam medik, yang dibacakan saksi ahli
di persidangan.
Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran MKEK
juga tidak mempersoalkan dr. Ayu Cs operasi Siska sedangkan dr. Ayu Cs ini
diketahui belum memiliki SIP. Pertanyaannya,
apakah memang dibenarkan secara prosedur dan
etik dalam praktik kedokteran di Indonesia, dokter tanpa SIP melakukan tindakan
medik beresiko tinggi?Kemudian, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tidak mempersoalkan indikasi
kuat pemalsuan tandatangan korban Siska Makatey, oleh dokter, sebagaimana bukti
Laboratorium Forensik Makasar? Sehingga muncul pertanyaan lanjutan: apakah
memang dibolehkan secara prosedur dan etik kedokteran, pemalsuan tandatangan
pasien oleh tenaga kesehatan dalam lembar persetujuan tindakan medik?
Karena
itu, kuat dugaan sidang MKEK merupakan upaya menutupi kesalahan kolega, sebagai
wujud esprit de corp. Terutama karena hanya melokalisir pada sebab
kematian, bukan pada keseluruhan etika dan standar prosedur yang dilakukan
dokter terhadap pasien (Siska Makatey) sebelum, saat dan sesudah operasi.
Padahal,
lingkup kewenangan dan tugas Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah: menyelesaikan
setiap permasalahan tentang bioetika dan etika kedokteran dan masalah konflik
etikolegal, khususnya yang berpotensi menjadi sengket medik, dengan cara
meneliti, memeriksa, menyidangkan dan memutus perkaranya . Bukan fokus
memeriksa penyebab kematian pasien dan siapa yang bertanggung jawab.
0 komentar:
Posting Komentar