Postingan kali ini, tugas makalah saya di bidang hukum internasional, ini sebenarnya makalah lengkap,tapi karena terlalu banyak yang bisa CV CV alias Copy Paste jadi gak bakalan guna kalau semuanya aku posting. Sekali-kali bikinlah makalah sendiri. Kalau mau Copy.. Silahkan... Kalau Mau Kumpul lengkap makalah silahkan bikinin bab 1, bab 3, dan embel-embelnya yang lain.
A.
Definisi Peremptory Norm of General
International Law (Jus Cogens)
Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian, pengertian jus cogens terdapat dalam Bagian V yang mengatur perihal
pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Pada rumusan
Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut:
“……..a premptory norm of general
international law is a norm accepted and recognized by the international
community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm
of general international law having the same character”.
Maksudnya adalah sebagai suatu norma yang diterima
dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang
tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum
internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama
Rumusan naskah Konvensi Wina 1969 merupakan produk
hasil kerja selama dua puluh tahun Panitia Hukum Internasional, yang dibentuk
berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.174/II/1947/ yang beranggotakan para
ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan berbagai sistem hukum. Berkenaan
dengan jus cogens, Panitia Hukum Internasional[1],
menyatakan bahwa ;
“The emergence of rules having to character
of jus cogens is comparativelu recent, while international law is in process of
rapid development….the right course to provide in general terms that treaty is
void if it conflict with a rule of jus cogens and to leave the full content of
this rule to be worked out in state practice and the yurisprudence of
international tribunal……”
Dari pandangan Panitia Hukum Internasional /
International Law Commission ILC, hal yang menyangkut jus cogens, yakni jus cogens merupakan
aturan-aturan dasar hukum Internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai public policy (ketertiban umum) dalam
pengertian hukum nasional.
Sudargo Gautama[2] menjelaskan
tentang public policy ini sebagai “rem darurat” yang dapat dipakai terhadap
suatu ketentuan hukum asing (yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum
positif suatu Negara) yang dapat dikategorikan merupakan suatu pelanggaran yang
sangat berat terhadap sendi-sendi suatu hukum nasional. Mengenai apa yang
termasuk dalam ketertiban umum sangat sukar didefinisikan, hal ini disebabkan
oleh faktor tempat, waktu, falsafat kenegaraan (yang dianut oleh masyarakat
hukum yang bersangkutan), sistem perekonomian, pola kebudayaan dan politik akan
mempengaruhi pendapat mengenai ketertiban umum.
Agar dapat diterapkan dalam masalah-masalah yang
bertaraf internasional, maka jus cogens harus
memenuhi syarat-syarat pemanifestasian berikut ini[3] :
1. Syarat Double Consent
Syarat-syarat pemanifestasian jus cogens diatur oleh hukum perjanjian internasional, yang
tersirat dalam pasal 53 Konvensi Wina 1969. Dalam pasal tersebut, jus cogens diartikan sebagai kaidah
hukum internasional umum yang memaksa dan diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional secara keseluruhan. Dengan demikian kaidah hukum yang dianggap
sebagai jus cogens harus disetujui
terlebih dahulu oleh Negara-negara.
Persetujuan tersebut meliputi, Pertama, persetujuan
untuk pengakuan bahwa kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum internasional
yang bersifat umum, yang biasanya secara implisit dianggap ada apabila memang
kaidah hukum tersebut dibentuk oleh Negara-negara secara umum atau global,
selain dapat pula pengakuan tersebut dinyatakan dalam perjanjian secara
eksplisit. Kedua, adanya persetujuan bahwa kaidah hukum tersebut bersifat
memaksa. Jadi jus cogens dimanifestasikan
melalui persetujuan atas sifat umum dan sifat memaksa dari suatu kaidah hukum
internasional dan ini yang disebut syarat double
concent.
2. Syarat Universalitas
Dalam pasal 53 menyebutkan pula bahwa jus
cogens adalah norma yang diterima dan
diakui oleh masyarakat Negara sebagai keseluruhan. Dengan demikian jus cogens
harus merupakan norma yang diterima dan diakui secara universal atau oleh semua
Negara tanpa keculi.
Hal itu tentu saja membahayakan bagi proses
penetapan jus cogens, karena apabila salah satu Negara tidak mengakui suatu
kaidah sebagai jus cogens, maka kaidah tersebut akan gagal menjadi jus cogens.
Maka dicarilah jalan keluar dengan mengganti pengertian universal menjadi near universal (hampir universal). Hal ini berarti bahwa
suatu Negara akan terikat pada jus cogens walaupun ia tidak memberikan
persetujuan. Dengan demikian persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan
dengan suara mayoritas, dimana mayoritas yang dimaksud adalah near universal.
Secara Konspetual, jus cogens memiliki tiga fungsi, yaitu ;
1.
Sebagai
pembatasan atas kehendak bebas Negara
Fungsi pertama muncul berdasarkan pemikiran bahwa
Negara-negara dalam hubungsn internasional selalu berpegangan pada ideologi dan
kepentingan nasional mereka yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dapat
menimbulkan pertentangan yang menjurus pada pelanggaran hukum internasional.
Namun walaupun melakukan pelanggaran hukum, Negara dapat menjustifikasi
tindakan mereka, yaitu dengan membentuk ketentuan hukum yang membenarkan
tindakan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena Negara mempunyai kebebasan untuk
membentuk hukum. Disamping itu Negara juga mempunyai kebebasan untuk mengakui
atau tidak mengakui suatu ketentuan hukum, sehingga kewajiban-kewajiban atau
larangan-larangan dalam hukum internasional boleh tidak ditaati oleh suatu
Negara, apabila Negara tersebut memang tidak menyetujui ketentuan yang dimaksud.
Maka dalam masyarakat internasional dubutuhkan hukum
yang membatasi kehendak bebas Negara, agar Negara-negara tidak membentuk hukum
yang bertentangan dengan keadilan dan ketertiban internasional, dan
mengharuskan mentaati hukum tersebut. Hukum itu bersifat memaksa, yang walaupun
pada awalnya dibentuk oleh Negara-negara, tetapi kemudian hukum itu membatasi
kehendak bebas Negara
2.
Sebagai
pengakuan atas pranata ilegalitas obyektif
Sebagai konsekuensi fungsi membatasi kehendak bebas
Negara dan sesuai dengan sifatnya yang tidak boleh dikesampingkan, maka apabila
terdapat Negara-negara yang bertindak secara unilateral atau membentuk hukum
yang tidak sesuai dengan hukum yang memaksa tersebut (jus cogens), maka
tindakan itu tidak sah berdasarkan hukum (illegal). Ketidaksahan tersebut
adalah ketidaksahan yang otomatis atau disebut ilegalitas obyektif.
Ilegalitas obyektif berarti pengakuan secara
obyektif terhadap suatu yang ilegal. Maksudnya begitu suatu tindakan atau
perjanjian yang melawan hukum terjadi, maka tindakan atau perjanjian tersebut
otomatis dianggap ilegal, karenanya menjadi tidak sah atau batal.
3.
Sebagai
pembentuk sistem hukum internasional vertikal
Dengan adanya kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara
dan mengancam dengan ilegalitas obyektif disatu pihak, dan adanya kaidah hukum
yang tidak memiliki karakteristik seperti diatas dilain pihak, menciptakan dua
tipe kaidah hukum, yaitu norma superior dan norma inferior. Jus cogens sebagai kaidah memaksa merupakan kaidah hukum
yang superior, dan jus dispositivumsebagai kaidah mengatur merupakan kaidah
hukum yang inferior. Akibatnya kedua hukum tersebut membentuk hierarki hukum,
yang menciptakan sistem hukum vertikal, disamping sistem hukum horizontal, dalam
latar internasional
B.
Prosedur penyelesaian Hukum Arbitrase
dan Perdamaian Yang Berhubungan dengan Jus Cogens
Prosedur untuk
menuntut batalnya atau tidak berlakunya lagi suatu perjanjian yang berhubungan
dengan Jus Cogens diatur secara bersamaan dengan penangguhan berlakunya
perjanjian. Apabila cara-cara penyelesaian pertikaian menurut ketentuan Pasal
33 Piagam PBB (berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat 3 Konvensi Wina tahun 1969)
telah ditempuh namun tidak diperoleh penyelesaiannya, maka mulai dapat
diterapkan ketentuan Pasal 66 Konvensi Wina tahun 1969
Prosedur
penyelesaian berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat 3 Konvensi Wina tahun 1969
ditempuh apabila telah dilakukan
pemberitahuan tertulis disertai alasan-alasan kepada pihak lainnya di mana
pihak lainnya mengajukan keberatan. Cara-cara penyelesaian sengketa
pertikaian secara damai dalam Pasal 33 Piagam PBB dapat berupa :
a.
Perundingan
Langsung (Negoisasi), yaitu pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaannya.
b.
Perantara
Pihak Ketiga
·
Enquiry
(Penyidikan). Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak
dimaksud untuk mencari fakta.
·
Mediasi
(Mediation) yaitu Pihak ketiga campur tangan untuk mengadakan rekonsiliasi
tuntutan-tuntutan dari pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih
aktif
·
Good
Offices (Jasa-jasa baik), yaitu pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik
jika pihak yang bersengketa tidak dapay menyelesaikan secara langsung
persengketaan yang terjadi diantara mereka
·
Consiliation
(Konsialisasi) merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara
enquiry dan mediasi
c.
Penyelesaian
Yudisial (Pengadilan Internasional/ICJ)
Dalam Pasal 66 Konvensi Wina Tahun 1969 dijelaskan
bahwa :
Prosedur untuk
penyelesaian hukum, arbitrase dan konsiliasi. Jika dalam ayat 3 Pasal 65, tidak
ada solusi yang telah dicapai dalam jangka waktu dua belas bulan setelah
tanggal dimana keberatan dibesarkan, prosedur berikut harus diikuti :
a) Salah
satu dari pihak yang terlibat dalam sengketa mengenai aplikasi atau penafsiran
pasal 53 ataupasal 64, dengan aplikasi tertulis diajukan ke Mahkamah
Internasional untuk diputus, kecuali para pihak dengan kesepakatan bersama
setuju untuk menyerahkan sengketa ke arbitrase
b) Salah
satu dari pihak yang terlibat dalam sengketa mengenai aplikasi atau penafsiran
dari salah satu artikel lain dalam bagian V dari Konvensi ini dapat digerakka
prosedur yang ditetapkan dalam lampiran kovensi dengan mengirimkan permintaan
kepaa sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
korupsi dari perwakilan
langsung atau tidak langsung oleh negara asosiasi lain, negara dapat memanggil
seperti yang korupsi untuk membatalkan persetujuan terikat oleh perjanjian
Penerapan Pasal 66 Konvensi Wina tahun 1969 dimana
ketentuan Pasal 65 ayat 3 telah dilakukan namun tidak diperoleh penyelesaian,
maka dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diajukan keberatan,
masing-masing pihak dalam sengketa yang menyangkut penerapan atau penafsiran
Ketentuan Pasal 54 dan Pasal 64 mengenai Jos
Cogens dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Internasional
untuk diputus, kecuali apabila para pihak bersepakat untuk menyerahkan
persengketaan mereka pada badan arbitrase.
C.
Praktek Negara Yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya
(judicature rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi
tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan
oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
keputusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Selain itu yurisprudensi dapat
pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan pengadilan.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan
produk yudikatif yang berisi kaidah hukum atau peraturan hukum yang mengikat
pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Jadi yurisprudensi hanya mengikat
orang-orang tertentu saja, namun putusan pengadilan adalah hukum sejak
dijatuhkan. Pada umumnya dikenal adanya dua sistem peradilan, sistem Eropa
Kontinental dan sistem Anglo Saxon. Dalam sistem eropa Kontinental, termasuk
Indonesia, hakim tidak terikat pada “precedent” atau putusan hakim terdahulu
mengenai perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan yang akan diputuskan.
Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat pada
putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung mengenai
perkara serupa. Namun dalam sistem Anglo Saxon hakim terikat pada “precedent” atau putusan mengenai perkara
yang serupa dengan yang akan diputus. Asas keterkaitan hakim pada “precedent” disebut “stare decisis et quieta non movere” atau disebut juga “the binding
force of precedent”.
Satu-satunya pengadilan yudisial internasional
permanen yang ada saat ini yang memiliki yurisdiksi umum adalah International
Court of Justice, yang sejak tahun 1946 menggantikan kedudukan Permanent Court
of International Justice yang dibentuk pada tahun 1921. Kedua pengadilan
tersebut telah mengeluarkan banyak keputusan dan opini nasihat mengenai
masalah-masalah internasional penting yang telah memberikan sumbangan terhadap
perkembangan yurisprudensi internasional. Akan tetapi tidak semua keputusan
dari Pengadilan menciptakan kaidah hukum yang mengikat. Menurut Pasal 59
Statuta Mahkamah Internasional, keputusan-keputusan Mahkamah tidak mempunyai
kekuatan mengikat kecuali diantara para pihak dan berkaitan dengan
perkara-perkara khusus.
Menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional,
walaupun Keputusan Pengadilan dinyatakan sebagai alat tambahan, dalam
kenyataannya keputusan tersebut hanya mengikat para pihak yang telah memberikan
persetujuannya. Tidak ada tempat untuk menerapkan doktrin preseden dalam hukum
internasional, akan tetapi putusan pengadilan telah mendapatkan tempat di para
penulis hukum internasional sebagai “authoritative decisions”. Ada pula yang
berbentuk pengukuhan atas norma hukum internasional baru dalam keputusan
Mahkamah Internasional. Isi, jiwa, semangat yang terkandung di dalamnya
kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada pula yang diundangkan
di dalam perundang-undangan nasionalnya.
Putusan pengadilan lain pun dalam hukum
internasional dapat dijadikan sebagai sumber hukum internasional. Pengadilan
lain tersebut meliputi pengadilan regional dan nasional. Pengadilan regional
yang sangat berpengaruh terhadap hukum internasional adalah putusan pengadilan
HAM Eropa (European Court of Human Rights) di Strasbourg yang telah dikenal
sebagai salah satu pengadilan regional yang kaya akan yurisprudensinya.
Sedangkan bagi putusan pengadilan nasional yang menjadi rujukan dalam hukum
internasional antara lain adalah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam
kasus Paquete Habana yang mendemonstrasikan sebuah upaya untuk menyatakan
eksistensi sebuah norma kebiasaan
[1] Syahmin A.K. SH, 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi
wina 1969. Bandung:Armico, hal.177
[2] Yudha Bhakti Ardhiwisastra,. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai.
Bandung:PT. Alumni. Hal. 168
[3] F. A. Whisnu Suteni., 1989. Identifikasi dan Reformulasi
Sumber-Sumber Hukum Internasional.
Bandung: Cv. Mandar Maju. Hal. 105
0 komentar:
Posting Komentar