BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan telah
menjadi pokok pembicaraan
serius sejak awal
munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang
luas, mulai dari yang bersifat
etik, filosofis, hukum,
sampai pada keadilan
sosial. Banyak orang
yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada
kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah,
namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Ukuran mengenai
keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Keadilan itu pun berdimensi
banyak, dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, maupun hukum. Dewasa ini,
berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan topik utama
dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan penegakan hukum.
Banyak kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.
Kebenaran hukum dan keadilan dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang
sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam
menentukan keadilan, sevab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu
membelinya atau orang yang membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi.
Seperti
diketahui istilah keadilan senantiasa dipertentangkan dengan istilah
ketidakadilan. Dimana ada konsep keadilan maka disitu pun ada konsep
ketidakadilan. Biasanya keadilan disandingkan dalam konteks kajian hukum ada
banyak contoh ketidakadilan yang merupakan antithese dari keadilan dalam bidang
hukum misalnya di Indonesia, seperti : ketidakadilan dalam kasus Poso, terhadap
rakyat kecil, kasus Prita, ketidakadilan pemberitaan, ketidakadilan pembagian
BLT, ketidakadilan gender dalam masyarakat daerah, ketidakadilan dalam
pemecahan masalah hukum, dan sebagainya.
Bahkan Susanto
membahas sesuatu yang tidak biasa dalam memaknai keadilan, yang terkait dengan
substansi yang ada di dalamnya. Keadilan akan dibenturkan dengan keraguan dan
ketidakadilan, bahwa sesungguhnya keadilan tidak akan berdaya tanpa
ketidakadilan dan keraguan.[1]
Membahas konsep keadilan, menurutmya yang kemudian akan dibenturkan dengan
ketidakadilan dan keraguan, akan memasuki medan wilayah non sistemik, atau anti
sistemik, bahkan hampir bersifat aphoristic,
karena membicarakan keadilan, ketidakadilan, keragian kita berdiri pada wilayah
yang labil, goyah atau cair (melee). Oleh karen itulah, keadilan (hukum)
dianggap plural dan plastik.
Keadilan dalam
literatur sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Secara umum dikatakan bahwa orang
yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unflawful, lawless) dan orang yang tidak
fair (unfair), maka orang yang adil
adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding)
dan fair. Karena tindakan memnuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua
tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah
adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagian
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Ukuran keadilan
sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita,
dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang
masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai
hakikat yang paling dalam, bahkan Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato,
bahwa keadilan didasarkan pada pengetahui perihal sesuatu yang baik.[2] Jelas
bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu-ilmu filsafat. Banyak filsafat yang mengharapkan
inspirasi bagi pengetahuan keadilan. Kesemua itu termasuk filsafat-filsafat
yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan merupakan salah satu contoh
materi atau norma yang menjadi objek filsafat. Dalam kjian filsafat, keadilan
telah menjadi pokok pembicara serius sejak awal munculnya filsafat yunani/
Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik,
filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.[3]
Dalam khasanah
filsafat, untuk menelusuri mengenai makna keadilan yang kompatibel bagi hukum
Indonesia, alur pikir yang digunakan adalah filsafat hermeneutik. Filsafat
hermeneutik ini, merupakan aliran filsafat kontemporer yang berpola penafsiran.
Pentingnya filsafat ini digunakan dalam membedah makna keadilan sebagai sebuah
solusi dalam penegakan hukum di Indonesia dikarenakan hermeneutik konsekuen
terikat pada dua hal kajian, yakni memastikan isi dan makna sebuah kata,
kalimat, teks, dan sebagainya, dan menemukan instruksi-instruksi yang terdapat
di dalam bentuk-bentuk simbolis.[4]
Dalam hal
penegakan hukum tersebut,
setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum
dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit,
dengan kata lain
bahwa peristiwa tersebut
tidak boleh menyimpang dan
harus ditetapkan sesuai
dengan hukum yang
ada (berlaku), yang pada
akhirnya nanti kepastian
hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam
penegakan hukum ada tiga unsur yang
selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri,
yaitu: kepastian hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit.
Diskurs mengenai
keadilan terjadi di semua belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Terjadinya gejolak yang ada di Indonesia, diduga disebabkan oleh belum
terciptanya keadilan seperti yang diharapkan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Disamping itu, hadirnya keadilan semakin dibutuhkan dengan semakin
meningkatnya kebutuhan hidup dan meningkatnya kompleksitas permasalahan yang dihadapi,
maka makalah ini dimaksudkan untuk menelaah tentang Aspek keadilan dalam
perspektif hermeneutik Hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu: bagaimanakah
penegakan hukum yang berkeadilan dalam perspektif hermeneutika?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui
dan memahami penegakan hukum yang berkeadilan dalam perspektif hermeneutika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hermeneutik Hukum
Untuk memahami
apa yang dimaksud dengan hermeneutika, perlu menengok kronologi
asal-usul kata hermeneutika,
supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan
sejarah hermeneutika. Secara
etimologis kata “hermeneutika”
itu berasal dari bahasa Yunani kata
kerja “Hermeneuein” yang berarti: menafsirkan atau
menginterpretasi, kata benda “hermenia’ yang berarti: penafsiran
atau interpretasi. Dari
kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna
dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata,
misalnya “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah
situasi; (3) menerjemahkan, seperti
didalam transliterasi bahasa asing.
Ketiga makna itu
bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to
interpret”, namun masing-masing dari ketiga makna tersebut
membentuk sebuah makna
yang independen dan signifikan bagi interpretasi.[5]
Pada mitologi
Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu
seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari
Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi
mitos lain, Hermes
adalah seorang utusan
yang memiliki tugas menafsirkan kehendak
dewata dengan bantuan
kata-kata manusia. Pengertian dari
mitologi ni kerapkali
dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks
kitab suci, yaitu
menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung
di dalam ayat-ayat
kitab suci. Secara teologis peran Hermes
tersebut dapat dinisbahkan
sebagaimana peran Nabi, bahkan Sayyed Hossein Nashr menyatakan
bahwa Hermes tersebut tidak lain
adalah Nabi Idris
a.s.[6]
Jadi disni dapat
disimpulkan bahwa
hermeneutika adalah ilmu
dan seni menginterpretasikan (the
art of interpretation) suatu
teks/kitab suci. Sedangkan dalam
perspektif filosofis, hermeneutika
merupakan aliran filsafat
yang mempelajari hakikat
hal mengerti atau memahami
sesuatu. Sesuatu yang
dimaksud disini dapat berupa
teks, naskah-naskah kuno,
peristiwa, pemikiran dan
kitab suci, yang kesemua hal ini
adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika.[7]
Menurut Gadamer
sebagaimana yang dikutip
oleh Ahmad Rifai menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan
Hermeneutika Hukum adalah
Legal hermeneutics is then, in reality
no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of
the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of
hermeneutics, in which jurist and
theologian meet the student of the humanities . (Terjemahan bebas: Hermeneutika
hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus
yang khusus/baru, tetapi
sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali
dari seluruh problem
hermeneutika dan kemudian
membentuk kembali keastuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hokum dan
teologi bertemu dengan para ahli humaniora)[8]
Fungsi dan
tujuan Hermeneutika Hukum
adalah untuk memperjelas sesuatu yang
tidak jelas supaya
lebih jelas (bringing the unclear
in to clarity),
sedangkan tujuan yang
lain dari Hermeneutika Hukum adalah
untuk menempatkan perdebatan kontemporer
hukum dalam kerangka Hermeneutika
pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori
hukum dengan cara
ini serta mengasumsikan bahwa
Hermeneutika memiliki korelasi
pemikiran dengan ilmu hukum dan Yurisprudensi.[9]
Menurut B.
Arief Sidharta, mula
pertama hermeneutika itu dikembangkan adalah sebagai metode atau
seni untuk menafsirkan teks. Kemudian
lewat karya Scleiermacher
dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunakan
hermeneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah.[10]
Akhirnya, lewat karya Hegel dan
karya Heidegger, Gadamer
mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan
ilmu-ilmu manusia dalam
bukunya “Truth and Method”. Dalam buku tersebut, Gadamer
menyisishkan paragraph khusus dengan
judul “the exemplary significance
of legal hermeneutics” yang intinya
berbicara mengenai signifikansi
hermeneutika hukum. Kemudian dalam karya
Heidegger dan karya
Gadamer, hermeneutika sebagai metode dikembangkan
menjadi filsafat hermeneutika
yang berintikan konsep-konsep
kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (Vorurteil), pemahaman (verstehen),
lingkaran hermeneutika (hermeneutische
zirkel), pengalaman (erfahrung),
sejarah pengaruh
(wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah
pengaruh (effective historical conciousness), dan perpaduan
cakrawala (fusion of horizons).[11]
Adapun yang
dimaksud dengan hermeneutika
hukum, sebagaimana yang didefinisikan
oleh Gregory Leyh
dalam buku “Legal Hermeneutics: History,
Theory and Practice”,
dimana Gregory mengutip pendapat Gadamer
yang menyatakan bahwa
hermeneutika hukumbukanlah merupakan
suatu kasus yang
khusus, tetapi ia
hanya merekonstruksikan
kembali dari seluruh
problema hermeneutika dan kemudian
membentuk kembali kesatuan
hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu
dengan para ahli humaniora.[12]
Sedangkan Jazim
Hamidi menjelaskan bahwa
untuk mengetahui definisi hermeneutika
hukum itu seperti
apa, kita dapat
kembali kepada definisi hermeneutika
secara umum diatas. Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum
adalah ajaran filsafat
mengenai hal mengerti/memahami sesuatu,
atau sebuah metode
interpretasi terhadap teks dimana
metode dan teknik
menafsirkannya dilakukan secara
holistikdalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.[13]
Adapun fungsi
dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah
untuk memperjelas sesuatu
yang tidak jelas
supaya lebih jelas. Sedangkan
menurut Greogry, tujuan
hermeneutika hukum adalah untuk
menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum didalam kerangka
hermeneutika pada umumnya.[14]
Urgensi kajian
hermeneutika hukum, dimaksudkan
tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian
hukum dari otoritarianisme para
yuris positif yang elitis, tetapi juga
dari kajian-kajian hukum
kaum strukturalis atau behaviorial
yang terlalu empirik
sifatnya. Kajian hermeneutika
hukum juga telah membuka
kepada para pengkaji
hukum untuk tidak
hanya berkutat pada pradigma positivisme dan metode logis formal saja.
Tetapi sebaliknya hermeneutika hukum menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali
dan meneliti makna-makna hukum
dari perspektif para pengguna dan atau para pencari keadilan.[15]
B. Paradigma Hermeneutik
Hermeneutik
sebagai suatu paradigma dalam kajian hukum merupakan sintesa antara kuatnya positivisme
hukum pada satu sisi, dengan kajian sosial terhadap hukum pada satu sisi,
dengan kajian sosial terhadap hukum pada sisi lain. Karena hermeneutik pada
satu sisi mengakui hukum tertulis sebagai fakta sosial yang merupakan
manifestasi dari positivisme hukum, namun pada sisi lain melihat sampai sejauh
hukum tertulis tersebut di interprestasi dalam konteks yang kritis.[16]
Hermeneutik
berarti “menafsirkan” atau interprestasi. Sama halnya dengan ilmu lainnya,
heremeneutik sebagai suatu disiplin ilmu mengalami perubahan cara pandang
terhadap obyek pembicaraannya, ada tiga paradigma hermeneutik yaitu[17]:
1. Hermenutik
Teoritis
Hermeneutik berkenaan
dengan suatu metode dalam menafsirkan suatu teks,yaitu mempersoalkan metode apa
yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang
penafsir dari kesalahpahaman, dan menmukan makna objektif dengan metode yang
valid tersebut. Ada dua hal yang penting dalam hermeneutik teoritis, yaitu
penafsiran dilakukan secara gramatikal, untuk kemudian melompat kepada
penafsiran psikologis. Gramatikal dipahami sesuai dengan maksud dari pembuat
teks, untuk kemudian dipahami dan diyakini secara psikologis makna objektid
dari teks tersebut, penafsiran psikologi inilah yang menurut Shleiemacher
merupakan validasi dari penafsiran gramatikal. Hal ini berarti menempatkan teks
pada waktu dan tempat penyusunannya, sebagaimana dalam rekonstruksi logis dari
makna berdasarkan analisis formal dan penelitian historis, namun itu juga
berarti menelusuri proses penyusunan sebuah teks.[18]
Dengan pendekatan hermeneutik teoritis terlihat dalam penafsiran yang menjadi
pilar utamanya-terutama dalam bidang hukum adalah penafsiran gramatikal,
penafsiran resmi undang-undang.[19]
2. Hermeneutik
Filosofis
Hermenutik filosofis
lebih menekankan pada produksi makna baru dan bukan reproduksi makna awal sam
melihat suatu teks.[20]
Sehingga lebih menekankan kepada bahasa dan permainan bahasa. Dalam bidang
hukum, hermeneutik filosofis ini terlihat dengan digunakannya penafsiran
historis, dimana setiap perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah
peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya.
Permasalahannya adalah
subyek mempunyai keterbatasan untuk mencoba melihat kebelakang, dalam kondisi
dan setting social, politik bagaimana lahirnya suatu peraturan
perundang-undangan. Atau bahkan kondisi social, politik pada saat itu sudah
mengalami perubahan. Sehingga makna histories yang dicoba untuk
diaktualisasikan dalam proses penegakan hukum, makan akan terjadi “gap” yang
besar, sehingga akan menimbulkan “chaos” dalam masyarakat.[21]
3. Hermeneutika
Kritis
Sangat berbeda dpada
kedua hermeneutik tersebut seblumnya, hermenutik kritis justru lebih menekankan
pada faktor ekstralinguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh
hermeneutik. Menurut pandangan yang kritis ini, hermeneutik yang teoritis
maupun yang filosofis mengabaikan hal-hal di luar bahasa seperti kerja dan
dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks dan perbuatan.[22]
Menurut Grondin, dengan pendekatan hermeneutik kritis ini akan menghancurkan
ilusi-ilusi penafsiran, suatu hal yang besar yang gagal ditangkap oleh
hermeneutik teoritis dan hermeneutik filosofis, sehingga bisa menyingkap
tabir-tabir ideologis di balik teks.
Karena Foucoult melihat
bahasa merupakan alat kontrol yang efektif antara satu orang dengan yang
lainnya.
Keinginan untuk
menjadikan ilmu (termasuk hukum) sebagai suatu bentuk olmu pengetahuan yang
komunikastif, adalah merupakan salah satu pemikiran dari Jurgens habernas.
Menurut Habernas, seorang penafsir terutama dalam hermeneutic teoritik sering menghadapi kesulitan untuk mencoba
mengomunikasikan antara dua pihak yang berbicara (sengketa-pen) dalam bahasa,
simbol,aturan-aturan yang berbeda, kesulitan mana berasal dari faktor eksternal
penafsir itu sendiri, apalgi jika sampai mengarahkan pada saling pengertian
intersubyektif. Tetapi tugas seorang interpreter adalah melakiukan komunikasi
mengarah pada “refleksi diri”.[23]
C. Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hermeneutik
Arti secara
terminologi dari filsafat adalah suka pada kebijaksanaan atau teman
kebijaksanaan, yang asal katanya dari bahasa Arab filsafah yang berasal dari
bahasa Yunani philosophia. Philos berarti
suka atau cinta, dan sophia berarti
kebijaksanaan. Sedangkan arti secara praktisnya filsafat berarti alam berfikir
jadi berfilsafat ialah berfikir secara mendalam dan dengan sungguh-sungguh. Dalam
filsafat, ada cabang filsafat yang membahas mendalam mengenai makna, yakni
hermeneutika. Pengertian hermeneutika secara etimologis adalah menafsirkan, ini
merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein. Jadi, kata bendanya adalah hermeneia yang secara harfiah artinya penafsiran atau interpretasi.
Sedangkan dalam batasan umum, hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[24]
Hermeneutika
mempunyai dasar lingkaran berupa kesatuan titik-titik acu (roh) yang
menyebabkan sesuatu menjadi bermakna. Disini, hermeneutika bertugas (meminjam
istilah Ast) yang dirumuskan dalam tiga bentuk pemahaman, yaitu pemahaman
materi yang diperbincangkan di dalam keadilan hukum, pemahaman bahasa keadilan
hukum, dan pemahaman roh keadilan hukum, yaitu berupa pemahaman roh zaman dan
pandangan semesta dari para pembuat dan pelaksana hukum yang saling
berinteraksi serta saling menerangi satu sama lain. Dengan demikian filsafat
hermeneutik, merupakan filsafat yang menelusuri tentang suatu makna dengan
menggunakan metode penafsiran apa yang ada di dalam suatu kata atau teks itu,
yaitu menyingkap tabir di dalamnya. Misalnya penelusuran makna keadilan dalam
konteks ke Indonesiaan, apabila menggunakan filsafat hermeneutik, tentu akan
menyingkap baik dari segi linguistiknya maupun kontekstualitasnya.[25]
Salah satu
pemikiran filsafat hermeneutik yang sering menjadi rujukan dalam bidang
penegakan hukum adalah pemikiran dari Francis Lieber. Lieber menafsirkan
hermeneutik secara umum, yaitu menganggap cabang ilmu pengetahuan ini membahas
prinsip-prinsip dan aturan interpretasi dan konstruksi. Menurutnya secara
etimologis pengertian hermeneutik yang berarti menjalankan interpretasi ini
berbeda dengan eksegesis yang berarti
penjelasan. Jadi hermeneutika dibandingkan
eksegesis ibarat teori dibandingkan
dengan praktik, karena penafsiran pada umumnya meliputi segala cabang (ilmu
pengetahuan) dimana kita terhubung secara cermat dengan makna kata-kata dan
mengatur tindakan sesuai dengan semangat dan kandungannya yang sebenarnya.
Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman
mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori
hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.[26] Tiga ide dasar tersebut diwujudkan dengan menggunakan
asas prioritas, yaitu pertama-pertama
wajib memprioritaskan keadilan[27].
Bicara tentang
keadilan menurut Plato, keadilan dalam suatu negara dapat dipelajari dari
aturan yang baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, bagian
pikiran (logistikon), bagian perasaan
dan nafsu, baik psikis maupun jasmani (ephithumetikon),
dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides).
Jiwa itu teratur secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesatuan harmonis
antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu
dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka
keadilan (dikaiosune) terletak dalam
batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya
masing-masing.[28]
Sedangkan
menurut Aristoteles, hukum yang harus ditaati demi keadilan, dibagi menjadi
hukum alam dan hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai suatu hukum yang
berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu
tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Lain
halnya dengan hukum positif, yang sebagian besar berwujud undang-undang negara
yang berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang
berwibawa. Tetapi, selain keadilan dianggap sebagai keutamaan umum (yaitu
ketaatan hukum alam dan hukum positif), terdapat juga keadilan sebagai
keutamaan moral khusus, yaitu yang menentukan hubungan baik antara satu orang
dengan yang lainnya, lalu keadilan berada di tengah dua ekstrem (keseimbangan),
dan untuk mengukur keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan (dihitung dengan
cara aritmetis atau geometris).[29]
Keadilan yang
dimaksud oleh Aristoteles beranjak dari filsafat politik, yang dikemukakan di
tengah-tengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat itu. Untuk itu,
Aristoteles membagi keadilan dalam beberapa hal, yakni:
a. Keadilan
dalam segi-segi tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu:
1.
Keadilan menentukan bagaimana seharusnya
hubungan baik di antara manusia; dan
2.
Keadilan itu terletak di antara dua
kutub yang ekstrim; orang harus menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan
kepentingannya sendiri; orang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya
sendiri dan melupakan kepentingan orang lain;
b. Pembagian
keadilan secara garis besar, yaitu:
1. Keadilan
distributif: mengatur hubungan antara masyarakat dan para anggota masyarakat,
mewajibkan pemerintah untuk memberi apa yang menjadi hak para anggota; dan
2. Keadilan
komutatif: mengatur hubungan antara para anggota masyarakat yang satu dan yang
lain, dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak sesuai dengan hukum alam dan
atau perjanjian. Ini mengenai milik pribadi dan kepentingan pribadi;
c. Keadilan
yang menyangkut ketertiban umum, yaitu:
1. Keadilan legal: mewajibkan di satu pihak lembaga
legislatif untuk membuat undang-undang guna mencapai kesejahteraan umum dan
mewajibkan di lain pihak para warga supaya patuh kepada undang-undang negara
dan
2. Keadilan
sosial mengatur hubungan antara majikan dan buruh.[30]
Konsep menurut
Aristoteles inilah yang menurut banyak kalangan merupakan awal mula
diformulasikannya keadilan, sehingga menjadi titik tolak pengembangan konsep
keadilan di kemudian hari. Meskipun Plato membuat konsep keadilan tapi tidak
segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles. Bahkan di dunia barat masih
menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles, karena masih dianggap
relevan dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara menurut kultur
barat, sehingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan di kemudian hari, yaitu
dari Era Yunani tersebut sampai dengan era yang memasuki Era Postmodern.
Dari sudut pandang
hermeneutika, konsep-konsep keadilan tersebut mengikuti perkembangan zaman. Tidak
melihat keadilan sebatas dari sudut pandang subjektivitas pencetus konsep, melainkan
juga melihat dari sudut pandang masalah, linguistik, dan metode untuk
memahaminya, sehingga pemaknaannya bisa keluar dari konsep yang terdahulu,
karena ada unsur dialektika dan spekulatifnya (adanya kemungkinan-kemungkinan
pergeseran dari hal yang terbatas dari kata yang diorientasikan pada arah makna
yang dimaksud, menjadi pada hal yang tidak terbatas), mengikuti konteks ruang
dan waktu.
D. Prospek Filsafat Hermeneutik dalam
Membenahi Penegakan Hukum yang Berlandaskan Keadilan Sesuai Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia
meletakkan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” pada sila
kelima. Hal ini menjadi penekanan bahwa makna yang terkandung dalam sila kelima
Pancasila tersebut, merupakan tujuan negara yang juga hendak dicapai. Dimana
jika dikaitkan dengan “kesejahteraan”, maka “keadilan” yang dimaksud dalam sila kelima
Pancasila inilah yang menjadi instrumen terciptanya kesejahteraan, yang secara
sederhana dapat dipahami dengan semboyan “Perwujudan kesejahteraan rakyat
melalui keadilan sosial”. Dengan demikian, maka sila “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” ini merupakan suatu “core values” negara kesejahteraan (welfare state)
atau Pancasila sebagai philosofische grondslag
atau sebagai weltanschauung.[31]
Konsep keadilan dapat kita gali dari nilai-nilai yang
melekat pada Pancasila. Keadilan yang dicita-citakan bangsa ini terjelma dalam
sila kelima. Inti yang terkandung dalam sila ‘Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ adalah keadilan,
yang berarti mengandung pengertian kesesuaian dan hakikat dengan hakikat adil.
Konsekuensinya dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus senantiasa
berdasarkan pada nilai-nilai keadilan. Maka dalam hidup bersama (masyarakat),
bangsa dan negara terdapat tiga macam hubungan keadilan (hubungan keadilan segi tiga).[32]
Segi pertama: yaitu masyarakat bangsa negara adalah sebagai pihak
yang wajib memenuhi keadilan terhadap warganya. Hubungan keadilan segi pertama
ini disebut keadilan membagikan (keadilan distributif), yaitu masyarakat bangsa
dan negara wajib memberikan (membagikan) kepada warganya (warga negaranya) apa
yang menjadi haknya, menurut syarat-syarat, wajib dan kekuasaan yang ada dalam
masyarakat, bangsa dan negara tersebut yang harus dipenuhi.[33]
Segi kedua: yaitu warga masyarakat atau warga negara sebagai
pihak yang wajib memenuhi keadilan terhadap masyarakat, bangsa atau negaranya.
Hubungan keadilan segi kedua ini disebut keadilan
untuk bertaat, hal ini dapat dipahami karena pada hakikat terwujudnya suatu
masyarakat adalah akibat kehendak bersama dari pada warganya (warga negaranya).
Karena ada kesempatan kehendak bersama maka untuk terwujudnya suatu masyarakat,
bangsa dan negara harus ada suatu peraturan yang harus ditaati bersama para
warganya. Oleh karena itu wajib ketaatan dari para warga masyarakat dan warga
terhadap masyarakat, bangsa dan negaranya adalah merupakan hak dari setiap
masyarakat, bangsa dan negara.[34]
Segi ketiga: yaitu berupa hubungan keadilan yang terwujud
diantara sesama warga dari masyarakat, bangsa dan negara, dalam artian terdapat
wajib timbal balik untuk saling memenuhi keadilan diantara sesama warga.
Hubungan keadilan yang bersifat timbal balik diantara sesama warga disebut ‘keadilan komutatif’. Di dalam hidup
bersama harus senantiasa terwujud keadilan
komutatif yaitu memberikan kepada sesama warga masyarakat, bangsa dan
negara, segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing, menurut kesadaran
nilai antara hal-hal atau barang-barang yang wajib diterima sebagai haknya.[35]
Konsep tersebut
dari sudut pandang hermeneutik menyiratkan bahwa adanya kesadaran penuh, agar
keadilan sosial harus dilaksanakan dalam masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi
dalam kenyataannya hakekat keadilan sosial kurang dipahami arti serta isinya,
sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur itu masih jauh dari harapan
semua orang di Indonesia, khususnya para pencari keadilan.
Dengan demikian,
hermeneutika memandang bahwa pemahaman terhadap keadilan sosial selalu
diinterpretasikan dengan sebuah isyarat bahwa pemahaman itu dikondisikan dengan
konteks dimana pemahaman terhadap penerapan keadilan sosial itu terjadi.
Pemahaman tersebut merupakan aplikasi dalam pengertian bahwa keadilan sosial
tidak hanya muncul dari latar belakang kontekstual namun juga memperhatikan ciri-ciri
spesifik dari konteks tersebut, dengan memfokuskan diri pada beberapa bagian
dan mengkonfigurasikan kembali konteksnya melalui upaya pencapaian terhadap
pemahaman keadilan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pancasila.
Mohammad Hatta
senantiasa mengemukakan Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu:
a. fundamen
politik;
b. fundamen
moral (etik agama).
Negara dan
pemerintahannya akan memperoleh dasar yang kokoh dan memerintahkan berbuat
benar apabila meletakkan dasar moral di atas. Dengan politik pemerintahan yang
berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.[36]. Selanjutnya
dikatakan bahwa: Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin
citacita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala
yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek hidup daripada dasar yang
memimpin tadi. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul,
berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak dapat dipisah dari itu,
sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan ke dalam praktek hidup daripada
cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa.[37]
Kaitannya
Pancasila dengan penegakan hukum yang berkeadilan, Sudjito yang menyatakan
bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga)
unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut
merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum
nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara.
Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan
bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan
ridha Illahi.[38]
Dengan demikian secara falsafat hermeneutika dan ilmu hukum, konsep penegakan
hukum yang berdasarkan “Keadilan” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun wajib
hukumnya mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Melihat nilai yang terkandung di dalamnya, Pancasila
dengan jelas mencita-citakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mecapai keadilan itu,
terlebih dahulu Indonesia harus mewujudkan kebebasan dari ketidakadilan yang
masih membayang-bayangi kehidupan masyarakat. Meskipun, “ada dua gejala umum
yang merajalela dalam praktik kehidupan bernegara, yaitu ketidakadilan dan
ketidakbersihan”.[39]
Pancasila selain
sebagai komponen pokok sistem nilai hukum nasional dan staatsfundamentalnorms,
termasuk dalam lingkup kefilsafatan bangsa dan negara Indonesia. Kedudukan
Pancasila sebagai filsafat dapat ditinjau paling tidak menurut Abubakar Busro
dengan tiga kenyataan, yakni kenyataan materiil (dari jangkauan dan isinya
bersifat nilainilai fundamental, universal, komprehensif, dan metafisis, bahkan
pokok-pokok pengajarannya meliputi nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan),
kenyataan fungsional praktis (merupakan jalinan tata nilai dalam sosio-budaya
bangsa Indonesia, sehingga wujudnya dapat dilihat berupa adanya prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, tepa selira, setia kawan, kekeluargaan,
gotong-royong, musyawarahmufakat, dan lain-lain), dan kenyataan formal (para
Pendiri Negara mengangkat dan merumuskan Pancasila sebagai ideologi yang
wujudnya tampak dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia)[40]
Mengenai
hubungan hukum dengan sosial kemasyarakatan, ada ungkapan yang menyatakan di
samping masalah tertinggalnya hukum oleh perubahan-perubahan sosial, maka
mungkin akan muncul problem lain yaitu tertinggalnya perkembangan masyarakat
oleh perubahan yang terjadi dalam hukum atau perubahan yang ingin dicapai
melalui hukum tidak diikuti oleh masyarakat. Menurut Agus Budi Susilo, hal ini
kurang pas karena hukum harus seiring sejalan dengan masyarakat, dan senantiasa
bergandengan dengan apa yang namanya keadilan. Jadi tidak ada yang saling
mendahului, ibarat kepingan mata uang hukum tidak bisa lepas dari masyarakat,
meskipun dua hal yang berbeda, yang menjadi pengikat (di tengah-tengah)
kepingan tersebut adalah keadilan.
Terhambatnya
kekuatan yang sebenarnya, ada secara inherendalam hukum, sebagai akibat dari
ulah para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya, yaitu dengan menerapkan
cara-cara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undang-undang. Padahal hukum
tidak berdiri sendiri, adakalanya memasuki wilayah keilmuan yang lain. Misalnya
memasuki wilayah psikologi, dengan itu dapat diperoleh suatu konsep bahwa hukum
tidak hanya berurusan dengan peraturan melainkan juga perilaku manusia. Ada
tiga solusi yang coba ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo melalui gagasan atau
ide hukum progresifnya, kaitannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia,
yaitu:
Pertama,
penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum, memberi
pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan praktisi hukum) untuk berani
mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara
menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak
melukai rasa keadilan.
Kedua, pencarian
makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan
bernegara hukum. Para stakeholderhukum di Indonesia (akademisi dan praktisi
hukum) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam.
Ketiga, hukum
hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan,
kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada
bangsa kita yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan
untuk bangun dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat diri yang selama
ini mempunyai cara berpikir yang lebih banyak mendatangkan kesusahan. Sudah
semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa
kita, merasa sejahtera dan bahagia.[41]
Dari tiga solusi
yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut keadilan yang dicapai hanya
sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice, moral justicedan social
justice, tetapi belum secara tegas menyentuh pada philosophy and legal justice
yang sekiranya dapat menjembatani penganut paham hukum doktrinal dan
nondoktrinal, sehingga Agus Budi Sosilo menambahkan satu solusi lagi agar
terwujud keadilan secara hermeneutik dan legal filosofis, yaitu penerapan hukum
secara filosofis tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa dan negara Indonesia,
karena keadilan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 di samping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur,
universal, dan jauh dari sifat sekuler-individualistis-materialistis. Keduanya
ini pun bisa sebagai perekat bangsa dan negara Indonesia, yang saat ini sedang
bercerai-berai terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal
dan non doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum doktrinal di
Indonesia diakui sebagai staatsfundamentalnorms, begitu pun dan Pembukaan UUD
1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral keberadaannya, sehingga harus mereka
ikuti. Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum nondoktrinal di Indonesia,
Pancasila maupun dan Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya atau
konsep yang selama ini dibangun.[42]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hermeneutik
sebagai suatu paradigma dalam kajian hukum merupakan sintesa antara kuatnya
positivisme hukum pada satu sisi, dengan kajian sosial terhadap hukum pada satu
sisi, dengan kajian sosial terhadap hukum pada sisi lain. Karena hermeneutik
pada satu sisi mengakui hukum tertulis sebagai fakta sosial yang merupakan
manifestasi dari positivisme hukum, namun pada sisi lain melihat sampai sejauh
hukum tertulis tersebut di interprestasi dalam konteks yang kritis. Menurut Greogry,
tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan
kontemporer tentang interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada
umumnya.
Dari sudut
pandang hermeneutika, konsep-konsep keadilan mengikuti perkembangan zaman. Tidak
melihat keadilan sebatas dari sudut pandang subjektivitas pencetus konsep,
melainkan juga melihat dari sudut pandang masalah, linguistik, dan metode untuk
memahaminya, sehingga pemaknaannya bisa keluar dari konsep yang terdahulu,
karena ada unsur dialektika dan spekulatifnya (adanya kemungkinan-kemungkinan
pergeseran dari hal yang terbatas dari kata yang diorientasikan pada arah makna
yang dimaksud, menjadi pada hal yang tidak terbatas), mengikuti konteks ruang
dan waktu.
Keadilan secara
hermeneutik dan legal filosofis, yaitu penerapan hukum secara filosofis tetap
berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi
mengenai visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena keadilan yang
dicita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di
samping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal, dan jauh
dari sifat sekuler-individualistis-materialistis. Keduanya ini pun bisa sebagai
perekat bangsa dan negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai
terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan non
doktrinal).
B. Saran
Solusi terbaik
untuk menjawab permasalahan keadilan sulit untuk ditegakkan di negara Indonesia
ditinjau dari filsafat hermeneutik adalah bagi para penegak hukum di Indonesia
mengembalikan permasalahan kepada nilai jati diri bangsa sesungguhnya yakni
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, serta menerima konsep hukum baru yaitu hukum
progresif (bagian dari hukum nondoktrinal) yang lebih menekankan pada
nilai-nilai moral-sosial-relijius dan memandang suatu permasalahan ditinjau
dari berbagai disiplin keilmuan yang bisa sinkron terhadap ilmu hukum itu
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Achmad Ali,
2008. Mengembara di Belantara Hukum,
Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin
__________,
2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Jakarta: Kencana.
Donny Gahral
Adian, 2002. Pilar-pilar Filsafat
Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Budi Hardiman, kritik Ideologis: Pertautan Pengetahuan dan
kepentingan. Yogyakarta:Penerbit Kansius
Khaelan, 2013. Negara Kebangsaan Pancasila-Kultural, Historis,
Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Yogyakarta: Paradigma.
Roeslan,
Saleh. 1991, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Perundang-undangan Jakarta: Sinar Grafika
Setiardja, A.
Gunawan, 1990. Dialektika Hukum dan
Moral: dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Satjipto,
Rahardjo. 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas
Yudha bhakti
Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan
Konstruksi Hukum. Bandung:Penerbit Alumni.
Yudi Latif. 2014. Mata
Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan
W.Friedman, 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Rajawali Press.
Jurnal
Agus Budi
Susilo. Penegakan Hukum Yang berkeadilan
Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum:Suatu Alternatif Solusi terhdap
Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia. Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun
2011 Edisi September
Abdul Manan. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam praktek
Hukum Acara Di Pengadilan Agama. Di
sampaikan Pada Acara
Rakernas Mahkamah Agung
RI tanggal 10
s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur
Anthon F.
Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan
Hukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1
tahun 2010.
Hermansyah. Pendekatan Hermeneutik Dalampenegakan Hukum
(Upaya Dekonstruksi terhadap Positivisme Hukum).Jurnal Dinamika Hukum.
Vol.9 No. 3 Spetember 2009
Inge Dwisvimiar.
Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Hukum. Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No 3 September 2011
Sudjito. 2006,
Chaos Theory of Law: Penjelasan atas Keteraturan dan Ketidakteraturan, dalam
Media Hukum Volume 18, Nomor 2
Internet
Ahmad
Zaenal Fanani. Hermeneutika Hukum Sebagai
Metode penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum. www.badilag.net. diunduh
tanggal 08 Desember 2015.
Jimly, “Bebas dari Ketidakadilan”, www.jimly.com/makalah/namafile/138/
Bebas_Dari_Ketidakadilan.pdf, diunduh tanggal 08 Desember 2015.
[1] Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal
Keadilan Sosial, Edisi 1 tahun 2010, hlm. 23
[2] W.Friedman, 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Rajawali Press, Hlm.118
[3] Inge Dwisvimiar. Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum. Jurnal Dinamika
Hukum Vol.11 No 3 September 2011. Hlm. 524.
[4] Agus Budi Susilo. Penegakan Hukum Yang berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika
Hukum:Suatu Alternatif Solusi terhdap Problematika Penegakan Hukum Di
Indonesia. Perspektif Volume XVI No. 4Tahun 2011 Edisi September Hlm. 216.
[5] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta,
UII Press: 2005, hal. 20 dalam Ahmad Zaenal Fanani. Hermeneutika Hukum Sebagai Metode penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum.
www.badilag.net. Diunduh
tanggal 08 Desember 2015 Hlm. 3
[6] Sayyed Hossein Nasr, knowledge and The Secred,
State university press, New York, 1989, hlm. 71 dalam Ibid., Hlm. 3
[7] Ahmad Zaenal Fanani., Ibid
[8] Abdul Manan. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam praktek Hukum Acara Di Pengadilan
Agama. Di sampaikan Pada
Acara Rakernas Mahkamah
Agung RI tanggal
10 s/d 14
Oktober
2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Hlm. 12
[9] Ibid
[10] B.
Arief Sidharta, Refleksi
Tentang Struktur Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung: 1999, hlm. 94-103 dalam
ibid.,hlm.4
[11] Ibid, hlm. 95-96 dalam ibid
[12] Jazim Hamidi,op.cit, hal 42 dalam ibid
[13] Ibid. Hlm. 45 dalam ibid.,hlm4-5
[14] Ibid
[15] Ibid. Hlm.48 dalam Ibid.,hlm.5
[16] Hermansyah. Pendekatan Hermeneutik Dalampenegakan Hukum (Upaya Dekonstruksi
terhadap Positivisme Hukum).Jurnal Dinamika Hukum. Vol.9 No. 3 Spetember
2009. Hlm. 181
[17] lham B. Saenong, 2002. Hermenutika Pembebasan, Metode Tafsir Al Qur’an menurut hasan
hanafi, Jakarta: Penerbit teraju. Hlm. 34-35 dalam Hermansyah ibid
[18] Donny Gahral Adian,2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra,
hlm.139
[19] Yudha bhakti Ardhiwisastra,2000.. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung:Penerbit
Alumni. Hlm. 9
[20] F. Budi Hardiman, kritik Ideologis: Pertautan Pengetahuan dan kepentingan. Yogyakarta:Penerbit
Kansius. Hlm 9-10
[21] Hermansyah.,op.cit Hlm. 182
[22] F. Budi Hardiman.,op.cit. hlm 43
[23] F. Budi Hardiman. 1993. Menuju masyarakat Komunikatif, ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habernas. Yogyakarta: penerbit Kanisius. Hlm.
48
[24] Agus Budi Susilo.l,loc.cit. hlm. 216
[25] Ibid.,Hlm. 216-217
[26] Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Jakarta: Kencana. hlm
288.
[27] Achmad
Ali, 2008. Mengembara di Belantara Hukum,
Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, hlm. 99.
[28] Theo, Huijbers. 1995, Filsafat Hukum,
Yogyakarta: Kanisius. Hlm. Huijbers, Dalam Agus Budi Susilo., Glm. 217
[29] Ibid.,Hlm. 29 dalam Ibid
[30] Setiardja, A. Gunawan, 1990, Dialektika Hukum
dan Moral: dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 21-22
[31] Khaelan, 2013. Negara Kebangsaan Pancasila-Kultural,
Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Yogyakarta: Paradigma. hlm. 394
[32] Ibid., Hlm 401.
[33] Ibid.
[34] Ibid., h.
402.
[35] Ibid.
[36]Roeslan,
Saleh. 1991, Penjabaran Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perundang-undangan, Jakarta: Sinar Grafika. Hlm.
46
[37] Ibid
[38] Sudjito.
2006, Chaos Theory of Law: Penjelasan atas Keteraturan dan Ketidakteraturan,
dalam Media Hukum Volume 18, Nomor 2 Hlm. 5
[39] Jimly, “Bebas dari Ketidakadilan”, www.jimly.com/makalah/namafile/138/
Bebas_Dari_Ketidakadilan.pdf, diunduh tanggal 08 Desember 2015.
[40] Busro, Abubakar, 1989, Nilai dan Berbagai
Aspeknya dalam Hukum, Jakarta: Bhrata Hlm. 26-27 dalam Agus Budi Susilo.,loc.cit.,hlm. 224
[41] Satjipto, Rahardjo. 2007, Membedah Hukum
Progresif, Jakarta: Kompas. Hlm 21-22
[42] Agus Budi Susilo.,po.cit. Hlm.225
0 komentar:
Posting Komentar