Pengambilan
keputusan menurut Baron adalah suatu proses terjadinya identifikasi masalah,
menetapkan tujuan pemecahan, pembuatan keputusan awal, pengembangan dan
penilaian alternatif-alternatif, serta pemilihan salah satu alternatif yang
kemudian dilaksanakan dan ditindaklanjuti.[1] Hukum
merupakan seperangkat aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur perilaku
manusia. Agar hukum dapat ditegakkan, maka perlu kerjasama dan keterlibatan
semua pihak. Secara Formal penegakan hukum melibatkan polisi, jaksa, hakim, dan
advocat. Namun selama ini penegakan hukum di Indonesia, terkesan hanya
bersandar pada hakim, padahal tidak hanya dibeban pada hakim, tetapi termasuk
bagian tugas polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai sebagai penuntut umum
yang sering disebut dengan istilah ‘criminal justice system” (Ridwan,
2008). Secara luas, penegakan hukum
tidak hanya bersandar pada aparat penegak hukum, tetapi seluruh elemen
masyarakat harus berkontribusi dalam penegakan hukum.
Salah
satu permasalahan yang menjadi tugas penegakkan hukum adalah permasalahan
kriminal yang terjadi di masayarakat, dan untuk beberapa perkara harus
melibatkan kajian ilmu psikologi. Psikologi dalam dunia kriminal selalu
dikaitkan pada psikologi forensic. The committee on ethical Guidelines for
forensic psychology (Putwain & Sammons, 2002) mendefenisikan psikologi
forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Defenisi ini tampaknya cukup mewadahi unit kerja psikologi forensik itu
sendiri. Weiner dan Hess (2005) menjelaskan psikologi dalam system hubungan,
psikologi melakukan pengembangan pengetahuan spesifik tentang isu hukum, serta
melakukan riset pada permasalahan hukum yang melibatkan proses psikologi.
Kegunaan
psikologi forensik dalam kasus kriminalitas, adalah sebagai berikut:
1.
Penjelasan berdasarkan psikologi
mengenai perilaku kejahatan: Konsep psikoanalisa mengenai kejahatan. Menurut
psikoanalisa, perilaku kriminal dapat terjadi sebagai hasil dari super-ego atau
ID yang terlalu kaku, lemah, ataupun mengalami deviasi.
2.
Menurut konsep learning theories,
pendekatan ini menekankan peran dari keluarga dan teman sebaya sebagai sumber
perilaku kriminal serta peran reinforcement dan punishment dalam menekan
perilaku tersebut.
3.
Selain itu, psikologi forensik juga
berperan dalam membuat profile pelaku dari sebuah kasus kejahatan. Kita bisa
melihat di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, psikolog
membuat profile mengenai pelaku dari korban-korban yang ada serta bukti di
lapangan. Biasanya profile ini digabungkan dengan profile dari polisi.
4.
Selain itu, psikolog juga berperan dalam
sebuah kesaksian. Psikolog menganalisa kesaksian dari saksi ataupun tersangka.
Melihat dari struktur kognitif, teori atribusi, ataupun mengidentifikasi dari
TKP. Yang penting juga yaitu jika ada saksi mata seorang anak-anak.
5.
Psikolog juga membantu saksi mata untuk
dapat mengenali suatu kejadian serta membuat saksi mata dapat memperoleh
ingatan mengenai suatu tindak kejahatan.
6.
Psikolog juga menganalisa apakah hukuman
penjara bekerja atau tidak, serta efek psikologis yang terdapat pada mereka
yang dipenjara. Psikolog juga membantu di dalam penjara dengan program pelatihan
serta pengobatan perilaku kriminal dengan cara sesi khusus, token ekonomies,
ataupun terapi anger management.
Di Indonesia peran
psikologi dalam hukum sudah mulai terlihat
semenjak hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007.
Peran psikologi forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus
kriminal yang menimpa masyarakat.
Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak hukum memberi gambaran utuh
kepribadian si pelaku dan korban (Irmawati, 2009).[2] Menurut
Probowati (2010) peran psikologi
forensik meliputi tahap peneylidikan, penyidikan, persidangan dan pemenjaraan
(lihat tabel ).[3]
Area
|
Peran
|
Polisi
|
Membantu polisi dalam melekukan
penyelidikan pada saksi, korban dan pelaku
|
Kejaksaan
|
Membantu jaksa dalam memahami kondisi
psikologis pelaku dan korban, dan memberikan pelatihan tentang gaya bertanya
pada saksi
|
Pengadilan
|
Sebagai saksi ahli dalam persidangan
|
Lembaga
pemasyarakatan
|
Assesmen dan intervensi psikologis
pada narapidana
|
Tabel peran psikologi forensic dalam proses hukum
Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum,
psikologi berperan dalam empat tahap, yaitu:
1. Pada
tahap pencegahan, psikologi dapat membantu aparak penegak hukum memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah
kepada masyarakat bagaimana cara mencegah tindakan kriminal. Misalkan,
psikologi memberikan informasi mengenali pola perilaku kriminal, dengan
pemahaman tersebut diharapkan msyarakat mampu mencegah perilaku kriminal.
2. Pada
tahap penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi dapat
membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga polisi
dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal profiling dan
geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik
investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi
(umur, tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan
seting tempat kejadian (scene). geographical profiling., yaitu suatu teknik
investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat,
seting kejadian tindakan kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat
tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah
ditemukan (kemp & Van, 2007)
3. Pada
tahap pemindanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan
sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku kejahatan. Menurut Muladi dalam
(Rizanizarli, 2004) tujuan
pemindanaan adalah memperbaiki kerusakan
individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana. Ada beberapa teori yang terkait dengan tujuan
pemindanaan. Pertama, teori retributif (balas dendam), teori ini mengatakan
bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya di harus
menerima hukuman yang setimpal. kedua teori relatif (tujuan), teori ini
bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini sering
disebut dengan teori deterrence (pencegahan). Ada dua jenis teori relatif, yaitu teori pencegahan dan teori penghambat. Teori
pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan umum, efek pencegahan sebelum tindak
pidana dilakukan, misalnya melalui
ancaman dan keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak
pidana dilakukan. Sementara teori penghambatan,
yaitu bahwa pemindanaan bertujuan untuk mengintimidasi mental pelaku
agar pada masa datang tidak melakukannya lagi.
Ketiga, behavioristik, teori ini berfokus pda perilaku. Teori ini dibagi
dua, yaitu incapacitation theory, pemindanaan
harus dilakukan agar pelaku tidak dapat berbuat pidana lagi dan Rehabilitation
theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk memudahkan melakukan rehabilitasi
(Rizanizarli, 2004)
4. Tahap
terakhir adalah pemenjaraan. Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam lembaga
permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami
perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak
pelaku kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap
melakukan tindakan kejahatan kembali
bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan kejahatannya lebih berat daripada
sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi proses pembelajaran sosial ketika di
LP. Dalam konsep psikologi, LP haruslah
menjadi tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan
perilaku dan psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat menjadi
orang yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat. Ada beberapa konsep psikoloogi
yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di LP.
Pertama, berorentasi personal, yaitu
dengan cara terapi individual/kelompok, misalkan terapi
kogniif. Kedua, berorentasi
lingkungan, dengan menciptakan
lingkungan fisik LP yang mendukung perubahan perilaku narapidana,
misalkan jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak
terjadi kepadatan dan kesesakan yang berpotensi
menimbulkan perilaku agresif narapidana.
Psikologi
kepolisian yaitu : 1. Apakah didalam realitasnya penegakan hukum
mengakibatkan personel-peronelnya menjadi dapat dibedakan baik pola-pola
perilakunya maupun kepribadiannya, 2. Kita akan mengkaji perilaku dieskusi (bebas menentukan
pilihan) dan bagaimana accupulation accosiation atau sosialisasi pekerjaan
mempengaruhi perilakunya dan 3. Memfokuskan diri pada banyak dimention of stress (
dimensi stress ) dan hubungannya dengan penegakan hukum
Selain itu, perspektif psikologi hukum tentang pengadilan yaitu :
1. Meramalkan putusan pengadilan, ketaatan hukum dan
perilaku hukum sangat kental dengan nuansa psikologis.penggunaan teori-teori
psikologis dapat memprediksi perilaku hukum dan memprediksi perilaku hakim.
Perilaku hukum dapat diprediksi dengan perwujudan gaya atau perilaku dan
kepribadian seseorang atau para lawyer misalnya : sebagai tukang debat,ahli
argumentasi,dan terampil mengitimidasai pihak lain
2. Hukum adalah pengalaman
3. Pengaruh pendapat moral dalam perilaku hokum
4. Sudut pandang orang jahat
5. Tipologi
para pihak.
Menurut
Holmes Pengaruh pandangan moral dalam psikologi hukum adalah standar-standar
moral serta prinsip-prinsip moral yang di anut oleh hakim secara psikologi
sangat mempengaruhi keputusan dan kebijakan mereka dan karena putusan hakim
adalah hukum,maka itu berarti standar-standar moral dan prinsip-prinsip moral hakim,ikut berpengaruh dalam pembuatan
judge made law(hukum buatan hakim adalah putusan).
Perspektif psikologi hukum
mengenai pengadilan dengan jalan meramalkan putusan pengadilan dan memandang hukum
sebagai pengalaman, serta pengaruh yang timbul dan sebagainya. Dalam meramalkan
putusan pengadilan dikenal yang namanya ketentuan hokum dan perilaku hokum yang
sangat kental dengan nuansa psikologis. Dimana ketentuan-ketentuan itu
menimbulkan suatu permasalahan yang harus dikaji atau telah menjadi bagian yang
harus dipelajari misalnya mengapa ada larangan untuk menjadi saksi. Mengapa ada larangan untuk menjadi saksi bagi
pihak-pihak ketiga yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda
hingga derajat tertentu karena ada resiko muncul beban psikologi yang cukup
berat bagi mereka.
Seorang hakim yang
memutuskan sebuah perkara atau memberikan keputusan dianggap keputusan yang
diberikan itu bergantung pada sarapan paginya, hal ini dikemukakan oleh Donald
Black. Sehingga dalam system pembuatan putusan dan system penyelesaian sengketa
dalam hal ini pengadilan tidak ada suatu putusan yang berasal dari unsure
tetapi dihasilkan dari suatu system hubungan yang terstruktur. Dimana tawar
menawar antara hakim, pengacara, jaksa, dank lien disebut Plia Bangaening.
[1] Adi
Farman. 2010. Pengambilan Keputusan. http://adipsi,blogspot.co.id/2010/06/pengambilan-keputusan.html
diakses tanggal 18 Nopember 2015
[2] Irmawati.
(2009). Orasi Ilmiah: peranan psikologi
dalam Menjawab fenomena Psikologis masyarakat Indonesia. Universitas
Sumatra Utara pada Upacara Peringatan Dies Natalis ke- 57 Universitas sumatra
Utara
[3] Probowati,
2008. Anima: Indonesian Psychological
Journal Vol. 23, No. 4, 338-353: Psikologi Forensik: Tantangan Psikolog sebagai
ilmuwan dan professional. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar