Kekuatan mengikat hukum
internasional dibagi dalam dua aliran atau mashab hukum terkemuka yaitu adalah aliran
hukum alam dan aliran hukum positif.
Menurut
aliran hukum alam ( natural law ), hukum itu berasal dari alam dan diturunkan.
Hukum di pandang memilki sifat universal, abadi, tidak berubah ubah, sama di
mana mana, seperti halnya dengan alam itu sendiri yang juga universal, abadi
dan tidak berubah ubah, jadi di manapun juga sama saja. Aliran hukum alam,
memandang hukum itu demikian abstrak dan tinggi serta hanya mengakui satu macam
hukum yang berlaku di seluruh dunia, yakni hukum alam itu sendiri. Masyarakat
atau manusia di pandang hanya sebagai penerima yang pasif. Sekitar Abad
Pertengahan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu, yakni
berkembangnya pengaruh ajaran Ketuhanan,
aliran hukum alam inipun tidak luput dari pengaruh Ketuhanan sehingga
menampakkan ciri ciri keagamaan / Ketuhanan yang sangat kuat. Hukum alam tidak
lagi di pandang berasal dari alam, melainkan berasal dari Tuhan. Tuhanlah yang menurunkannya kepada manusia melalui alam.
Hukum alam berasal dan bersumber dari Tuhan.
Dengan
kata lain, aliran hukum alam mulai di sekulerisasikan. Adapun orang yang
berhasil mensekulerisasikan adalah Hugo
de Groot atau yang juga di kenal dengan nama latinnya, Grotius, seorang jurist terkemuka berkebangsaan Belanda.
Secara garis
besarnya, Grotius menyatakan, bahwa hukum alam tidak ada hubungannya dengan
Tuhan. Adanya hukum alam tidak tergantung pada ada atau tidaknya Tuhan.
Andaikata Tuhan tidak ada, hukum alam tetap ada. Dalam hubungannya dengan hukum
internasional , para pengikut aliran hukum alam memandang, bahwa hukum
internasional hanyalah bagian dari hukum alam, yakni hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat bangsa bangsa atau masyarakat internasional. Oleh karena itu,
hukum internasionalpun juga mempunyai sifat dan kekuatan mengikat yang sama
seperti hukum alam.
Kelemahan aliran
hukum alam adalah, bahwa ide ataupun konsepsi dari apa yang di sebut dengan
hukum alam tersebut ternyata sangat abstrak, samar samar, serta mengawan awang.
Hukum yang di katakan berasal dari alam, sama saja artinya dengan menjauhkan
hukum dari masyarakat, sebagai konsekuensi dari pandangan aliran hukum alam
yang demikian abstrak, samar samar dan mengawang awang maka penafsiran tentang
isi atau substansi yang sebenarnya dari hukum alam itu sendiri juga menjadi
samar samar, tidak jelas, sehingga pada akhirnya sangat tergantung pada
pendapat dan penafsiran subyektif dari pengikutnya masing masing.
Ketidakmampuan
aliran hukum alam menjawab berbagai masalah serta mulai timbulnya perubahan
orientasi berfikir para sarjana, mengakibatkan aliran hukum alam mulai di
tinggalkan. Orang tidak lagi berorientasi pada hal hal yang ideal dan abstrak
dalam memecahkan masalah masalah hukum dan kemasyarakatan, melainkan pada hal
hal yang lebih nyata yang terdapat atau terjadi dalam masyarakat. Perubahan sikap
dan orientasi ini, sekaligus merupakan reaksi atas aliran hukum alam yang
abstrak, samar samar, dan mengawang awang. Perubahan sikap dan orientasi
pemikiran atas hukum dan masyarakat ini melahirkan aliran hukum baru yang di
sebut aliran hukum positif.
Aliran hukum
positif tidak memandang hukum berasal
dari alamataupun dari Tuhan, melainkan hukum di buat oleh manusia atau
masyarakat, tumbuh, hidup, berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Mengingat
sistem sosial budaya antara kelompok masyarakat yang satu dan yang lainnya
berbeda beda dan berubah ubah dari waktu ke waktu, sudah tentu pula hukum
sebagai produk dan bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri juga berbeda
beda dan berubah ubah. Jadi tidak ada hukum yang abadi dan berlaku universal
atau yang tidak berubah ubah. Hukum itu berbeda beda sesuai dengan masyarakat
tempat berlakunya, dan verubah ubah sesuai dengan waktunya.
Jadi ada faktor
kehendak negara ( state will ) yang menyebabkan masyarakat internasional,
khususnya negara negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional.
Seorang penganut
aliran hukum positif, Georg Jellinek,
yang juga di kenal sebagai penganut teori
kedaulatan negara ( state
sovereignty ), berpendapat bahwa negara negara sebagai pribadi hukum yang
memiliki kedaulatan bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional,
oleh karena negara negara itu sendirilah yang mengkehendakinya, ini merupakan
manifestasi dari kedaulatannya. Jadi berdasarkan kehendaknya itu, negara negara
bebas untuk menyatakan diri untuk tunduk dan terikat ataukah tidak pada hukum
internasional. Apabila suatu negara memandang `perlu untuk tunduk dan terikat
pada hukum internasional, negara itu bisa saja menyatakan dirinya bersedia
untuk terikat. Jadi negara bersedia secara sukarela untuk di batasi oleh hukum
internasional. Sebaliknya jika pada suatu waktu kemudian negara yang
bersangkutan meandang tidak perlu lagi terikat, maka negara itupun bisa saja
sewaktu waktu menyatakan dirinya tidak mau lagi terikat pada hukum
internasional. Hal ini berarti, Georg Jellinek menempatkan kedaulatan negara (
state sovereignty ) dalam kedudukan yag lebih tinggi daripada hukum
internasional. Pandangan Georg Jellinek ini di kenal pula dengan teori pembatasan diri sendiri (self
limitation theory ).
Penganut aliran
hukum positif yang lainnya, yang mencoba menjawab persoalan tentang hakekat dan
daya mengikat hukum internasional adalah Zorn, Anzilloti dan Triepel,
yang pandangannya dapat di golongkan sebagai teori kehendak atau persetujuan
bersama ( common will atau common
consent theory ). Menurut mereka, hakekat dan daya mengikat hukum
internasional tidak terletak pada kehendak sepihak negara negara, melainkan
pada kehendak bersama negara negara. Jika negara negara tunduk pada hukum
internasional, di sebabkan karena terdapat kehendak bersama dari negara negara
untuk tunduk dan terikat pada hubungan internasional. Persetujuan inipun juga
merupakan manifestasi dari kehendak bersama negara negara. Dalam pendapat Georg
Jellinek mempunyai kelemahan perjanjian perjanjian internasional seperti
konvensi, traktat, charter, agreemen, dan lain lain, teori kehendak bersama ini
mengandung kebenaran sebab dalam perjanjian internasional kehendak negara untuk
membuat, tunduk dan terikat pada perjanjian internasional secara jelas dan
tegas dapat di ketahui. Akan tetapi, jika menyangkut hukum kebiasaan
internasional agak sukar untuk menjelaskan bahwa tunduk dan terikat negara
negara pada hukum kebiasaan internasional di sebabkan ada kehendak bersama
untuk tunduk dan terikat. Negara negara tidak pernah menyatakan kehendaknya
secara tegas untuk tunduk dan terikat pada hukum kebiasaan internasional.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa teori kehendak nampak berat sebelah.
Teori ini terlalu menitik beratkan hukum internasional pada perjanjian
perjanjian internasional, padahal selain dari perjanjian internasional masih
ada bentuk bentuk hukum internasional yang berlaku dan mengikat terhadap negara
negara tanpa didahului persetujuan atau kehendak bersama.
Sebuah
teori lain yakni Mashab Perancis ,
dengan penganut penganutnya Fauchille,
Scelle, dan Duguit. Tentang hakekat dan daya mengikat hukum (terasuk hukum
internasional). Dengan menekankan pada fakto sosiologis, daya mengikat pada
umumnya dicari pada manusia itu sendiri yang disamping sebagai manusia biologis
juga sebagai makluk sosial. Sebagai makluk biologis manusia memiliki pelbagai
kebutuhan biologis, demikian juga sebagai makluk sosial membutukan kebutuhan
sosial. Kedua macam kebutuhan itu tidak dapat dipengaruhinya sendiri sendiri ,
melainkan dapat dipengaruhi melalui keterikatan dan keterhubungan antar
sesamanya, harus memenuhi kebutuhan kebutuhanya dan kepenting kepentinganya.
Menurut mashab sosiologis, manusia atau masyarakat tunduk pada hukum sebab
manusia atau masyarakat itu sendiri yang membutuhkan hukum. Berkenaan dengan
masyarakat yang tunduk pada hukum internasional, masalah tidak jauh berbeda
dengan maslah pada umumnya, bahwa masyarakat internasional, khususnya negara
negara itu sendiri memang membutuhkan hukum internasional untuk mengatur
kehidupanya.
0 komentar:
Posting Komentar